Kamis, 12 Maret 2009

Nasionalisasi not privatisasi

NASIONALISASI BUKAN PRIVATISASI

Semenjak zaman orde lama soko guru ekonomi Nasional yang terdiri dari Koperasi, dan Badan Usaha Milik Nasional / Daerah masih menjadi primadona utama bagi sektor pemasukan pemerintah. Sejak dimulainya krisis ekonomi sektor koperasi yang sering dijadikan sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat tingkat bawah semakin kurang berfungsi sehingga total kemampuan pemasukan pemerintah hanya bertumpu pada sektor usaha milik pemerintah atau yang dikenal dengan nama BUMN. Inkrimentalisasi atau perubahan yang secara bertahap menjadikan BUMN yang seyogyanya harus dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan dan kemakmuran masyarakat seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33 bahwa Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat menjadi berubah dan beralih fungsi dan kepemilikan menjadi milik perorangan atau lembaga bukan pemerintah. Alasan pemerintah pasti berkaitan dengan manajemen perusahaan yang membutuhkan biaya sangat banyak apabila BUMN tersebut dikelola oleh pemerintah, mungkin itu bisa dijadikan salah satu alasan, akan tetapi jika dibandingkan dengan pemasukan pendapatan yang diperoleh nantinya serta dampaknya terhadap masyarakat apabila BUMN tersebut dikelola oleh Pemerintah dengan manajemen dan person yang berkualitas dan bebas dari berbagai “ bau – bauan ” termasuk bau KKN mungkin sektor pendapatan yang diterima akan lebih besar dan lebih bermanfaat .

Privatisasi

Privatisasi sering digembar – gemborkan sebagai penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam ranka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi Negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Tetapi privatisasi hakekatnya bukan itu, melainkan semata – mata merupakan sikap tunduk dan pasrah kepada arahan –arahan dan tekanan – tekanan lembaga – lembaga internsional. Dan terkadang yang terjadi adalah privatisasi dijadikan salah satu cara untuk memenuhi pendapatan utama negara dalam rangka membayar hutang – hutang yang dimilikinya. Berdasarkan pemeriksaan BPK semester II tahun 2002 jumlah BUMN di Indonesia sebanyak 144 dengan kriteria pembukuan ; WTP ( wajar Tanpa Pengecualian ) berjumlah 122, WDP Wajar Dengan Pengecualian ) berjumlah 7,TMP ( Tidak Mengemukakan Pendapat ) berjumlah 3 dan TW ( Tidak Wajar ) berjumlah 3. dengan jumlah nilai Asset sebesar 901 Trilyun dengan sumbangan terhadap Negara pada tahun 2002 sebesar 15,8 Trilyun.

Sangat disayangkan apabila BUMN dengan sektor pemasukan yang begitu besarnya harus menjadi milik perorangan sehingga harga barang yang ditimbulkannya dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan dari pemiliknya tanpa memperdulikan kepentingan dan keadaan rakyat kecil sebagai basic interested ( Kepentingan dasar ). Seperti kejadian PT. Indosat dan PT Gresik yang sudah diprivatisasi sehingga harga barang yang dikeluarkannya menjadi tidak terkontrol. Negara Bolivia sudah berani melakukan nasionalisasi untuk sektor Gas dan Perminyakan sehingga banyak perusahaan asing yang menjadi kalang kabut terhadap kebijakan tersebut. Apabila kita meninjau proses nasionalisasi baik dari segi penanganan pengelolaannya maupun dari segi kepemilikan modal, Bolivia termasuk bangsa yang berani mengambil sikap sehingga perusahaan asing banyak yang “ memohon” dan meninjau kembali perjanjiannya dengan Negara salah satu penghasil minyak terbesar di dunia tersebut dengan pembagian yang adil. Indonesia harusnya berani untuk melakukan nasionalisasi terhadap hal – hal yang menyangkut dan berhubungan dengan kepentingan Umum bukan malah diserahkan kepada sektor individu atau asing untuk mengelolanya seperti halnya kasus Freeport maupun blok Cepu karena bahaya privatisasi diantaranya adalah : 1) Tersentralisasinya asset pada segelintir individu atau perusahaan besar, 2) menjerumuskan negeri – negeri islam ke dalam cengkeraman imperialisme ekonomi barat, 3 ) menambah pengangguran akibat PHK dan memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji pegawai, 4 ) Negara akan kehilangan sumber – sumber pendapatannya, 5) Membebani konsumen dengan harga – harga yang melambung akibat pajak tinggi atas perusahaan terprivatisasi, 6) menghambur - hamburkan kekayaan negara pada sektor non produktif, dan 7) menghalangi rakyat untuk memanfaatkakn asset kepemilikan umum.

Pandangan Hukum Islam Tentang Privatisasi

Ada perbedaan penting antara system ekonomi islam dengan sistem ekonomi kapitalis dalam masalah kepemilikan kekayaan. Dalam sistem ekonomi kapitalis kepemilikan hanya dikelompokkan menjadi dua : kepemilikan Individu ( Private ) dengan kepemilikan Negara ( mencakup sektor public ) sebaliknya menurut system ekonomi islam, kepemilikan dikelompokkan menjadi ; kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Menurut sistem ekonomi kapitalis kepemilikan Negara ( Umum ) dapat diubah menjadi kepemilikan individu melalui apa yang disebut dengan privatisasi. Sebaliknya menurut sistem ekonomi islam, jenis kepemilikan umum selamanya tidak boleh diubah menjadi kepemilikan Negara apalagi kepemilikan individu. Namun demikian, Negara diperbolehkan mengubah status kepemilikan miliknya ( kepemilikan Negara ) menjadi kepemilikan individu selama hal ini tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar, Pengubahan status kepemilikan Negara menjadi kepemilikan individu ini dapat dilakukan dengan jalan pemberian harta Negara kepada individu yang memerlukan atau dengan jalan menjualnya kepada individu atau perusahaan tertentu.

Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah “ Izin Asy-Syari ( allah ) kepada masyarakat umum untuk berserikat dalam memanfaatkan benda ” Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum :

  1. barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berusaha mencarinya seperti air, padang gembalaan, dan sumber – sumber energi. Nabi Saw bersabda , “ Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang ;air, padang gembalaan, dan api ”. ( HR. Bukhari dan Muslim ).
  2. Tambang yang berkapasitas produksi besar. Telah diriwatkan dari Abyad bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rosulullah agar memberinya tambang garam, dan Rosululloh pun memberinya. Ketika Abyad pergi seorang sahabat di majelis berkata kepada Rosulullah, “ wahai Rasulullah tahukah anda, apakah telah anda memberikan kepadanya sesuatu ( yang bagaikan ) air mengalir ? ” Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut. Orang tersebut menyerupakan tambang garam dengan air mengalir , karena banyaknya produksi pada tambang garam tersebut. Ini mencakup pula setiap tambang dengan produksi dalam kuantitas yang banyak seperti tambang minyak, gas, fosfat, tembaga dan sebagainya.
  3. barang – barang yang dilihat dari tabiat pembentukannya tidak mungkin dimiliki oleh individu seperti laut, sungai, atmosfir udara , dan sebagainya.

Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama oleh seluruh individu rakyat. Dalam hal ini, peran Negara hanya pengelola dan pengontrol pemanfaatnnya, bukan pemilik. Atas dasar itu, Negara tidak boleh menjual atau memberikannya kepada pihak siapapun, sebab ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik Negara.

Atas dasar inilah, kita harus berhati – hati terhadap ide privatisasi yang saat ini dipaksakan atas negeri kita. Sebab hal ini adalah upaya barat untuk memperkuat cengkeramannya dalam menjajah negeri – negeri islam. (Abu Ozan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar